Rabu, 05 Maret 2014

Menjadi Laki-Laki

“Sekali-kali gantian kek cewek yang duluan. Gue mulu,” begitu keluh salah satu temen gue yang chat-nya direspons biasa aja sama cewek incerannya.
Mungkin gue terlalu kuno.
Tapi gue selalu percaya, anak laki-laki haruslah bandel. Bandel di sini maksud gue adalah tetap penasaran dan mengejar apa yang benar-benar dia pengen. Waktu kecil, gue pernah jatuh dari pohon cuma karena gue pengen niruin gaya Smack Down Ray Misterio. Gue pernah diomelin gara-gara nyebur ke kali cuma karena penasaran gimana rasanya nangkep ikan sapu-sapu pake tangan kosong. Yang paling klise, gue pernah digampar bokap karena waktu SMP gue ketahuan ngerokok, Gue nabrak mobil orang gara-gara mabok abis dari diskotik. Gue jatuh, gue dimarahin, gue digampar. Tapi gue puas. Gue melakukan hal-hal tadi karena gue penasaran, gue pengen tau, dan gue puas karena akhirnya gue tau. Dan meski udah dikasih tau, udah diomelin, udah kena batunya, dalam beberapa kasus gue nggak berhenti melakukannya. Gue tetap niruin gaya Smack Down di hari berikutnya, terus masih suka nyari ikan sapu-sapu dengan tangan kosong, masih tetap merokok, dan masih suka dugem atau nongkrong selayaknya anak (yang katanya gaul)
Lalu apa yang membuat gue berhenti melakukan itu semua?
Gue percaya anak laki-laki akan berhenti melakukan apa yang buruk, jika akhirnya sadar bahwa itu nggak ada manfaatnya sama sekali, atau karena menemukan hal yang lebih berarti. Gue berhasil berhenti niruin gaya Smack Down karena kenal basket pas SMP jadi ganti pengen niruin Michael Jordan, Reggie Miller, Tony Parker, atau Kevin Durant (untuk zaman sekarang). Gue akhirnya pensiun ngambilin ikan sapu-sapu di kali ketika gue salah nangkep sapu-sapu –yang ternyata ikan lele– terus gue dipatil. Dan gue berhenti merokok ketika gue selesai menanyakan kepada beberapa temen cewek di kelas gue pertanyaan paling mendasar, “Lo lebih suka cowok yang ngerokok apa nggak sih?” Dari sekitar delapan orang yang gue tanya, semuanya bilang, “Lebih suka yang nggak ngerokok lah,” dengan yakinnya. Dan yang terakhir gue berhenti dugem dan mabok gara-gara kesadaran gue sendiri.
Waktu itu gue mikir, Lantas buat apa selama ini gue ngerokok? Semuanya sia-sia aja kalau gue ngerokok cuma biar kelihatan keren di depan temen-temen gue yang cowok. Gue kan mau narik perhatian cewek, bukan cowok.
Point dari cerita gue di atas adalah menuju ke pertanyaan, “Apa yang salah dengan laki-laki yang mengeluhkan sekali-kali harusnya cewek yang duluan, sekali-kali harusnya cowok yang menunggu dan tinggal ongkang-ongkang kaki?” Salah, karena dia tidak sedang menjadi laki-laki.
Perlu gue luruskan sedikit. Maaf jika terdengar sotoy, tapi ini adalah hasil interview gue ke beberapa kenalan cewek. Bahwa cewek ketika menunggu tidaklah ongkang-ongkang kaki, bahwa bagi cewek menunggu adalah salah satu pengorbanan yang cukup melelahkan.
Memang, tatanan sosial di lingkungan kita udah terlanjur kuat dan ada beberapa cewek yang memutuskan menunggu karena bagi orang di sekitar dan lingkungannya, memulai duluan adalah hal yang memalukan, murah, dan gampangan. Gue nggak akan menyalahkan itu. Tapi yang gue gelisahkan adalah, anak laki-laki harusnya keras kepala. Ketika dia menginginkan sesuatu, kejar, sampai dapat, sampai terjatuh-jatuh, bahkan berdarah-darah. Bukan baru kena ujian sekali, terus balik kanan, pergi, dan menyerah.
Bukannya anak laki-laki sudah biasa jatuh dan berdarah ketika dia pengen sekali bisa naik sepeda? Bukannya anak laki-laki sudah biasa tertusuk beling sampai berdarah dengan kaki telanjang melintasi kebon cuma untuk mengejar layangan putus? Lalu kenapa akhir-akhir ini gue sering melihat dan mendengar cerita temen laki-laki dan beberapa orang yang gue kenal, menyerah dalam mengejar sesuatu yang lebih berharga dari sepeda dan layangan, yaitu perempuan, cintanya, (yang katanya) kebahagiaannya?
Biarlah para perempuan saja yang ribet, toh memang mereka sudah mengakui bahwa perempuan itu ribet. Laki-laki, tak perlu ikut-ikutan ribet. Yang gue tau, orang yang mau menghubungi duluan aja kebanyakan mikir, takut ganggu lah, takut gak dibales lah, malu lah, itu perempuan. Kalau laki-laki juga kayak gitu, gimana bisa perempuan mau?
Perempuan ribet, berarti tandanya butuh laki-laki sederhana, yang tegas. Perempuan kan mau pacarannya sama laki-laki. Kalau laki-laki sama ribetnya kayak perempuan, ya mending pacaran sama perempuan lagi aja sekalian.
Mungkin pernyataan gue kali ini terkesan terlalu membela perempuan. Memang ya, tapi hanya perempuan-perempuan yang nggak menuhankan gengsilah yang gue bela. Memang perempuan harus punya gengsi, tapi bukan harus jadi munafik dengan menutup dan membohongi diri agar terlihat ‘nggak suka’ di depan orang yang sebenernya disukai abis-abisan. Gengsilah secukupnya.
Terlebih dari itu semua, maksud dari tulisan gue adalah buat sama-sama mengingat bahwa gue, dan para laki-laki yang baca tulisan ini pernah bandel waktu kecil. Jangan sampai kita lebih ‘laki’ dan lebih pemberani waktu kecil dibanding sekarang.
Gue nggak suka konfrontasi. Sekali lagi, sebutlah gue kuno, tapi gue rasa memang sudah benar bahwa perempuan yang dikejar, dan laki-laki mengejar.
Sekarang tugas perempuan dan laki-laki hanyalah untuk menjadi sekooperatif mungkin. Perempuan membuat dirinya layak untuk dikejar, layak untuk diperjuangkan, dan laki-laki mengejar sambil meningkatkan kualitas diri agar layak diterima. Sederhana, bukan?
Gue sadar pada kenyataannya nggak sesederhana itu. Tapi gue yakin, kita, para laki-laki kan sudah biasa bandel. Masa cobaan segitu doang udah bikin nyerah buat ngejar seseorang yang katanya berharga? Come on boys! Be brave! Prove you’re the man!
Untuk mendapatkan hati perempuan, berhentilah bersikap dan berpikir seperti perempuan, Sederhanalah, dan Tegaslah! -Rendy Setiawan

Sabtu, 01 Maret 2014

6 Tanda Ditolak


Ketika PDKT, hasrat ingin selalu bertemu dengan gebetan emang selalu ada, tapi yang jadi masalah adalah si gebetannya mau apa nggak.
 
Pokoknya banyak cara yang dilakuin sama PDKT-ers buat ngajakin gebetannya ketemu, mau ke sini lah, ke situ lah, pokoknya mau ke mana aja asal sama dia mah ya hayok aja deh, asal perginya jangan pergi ke rahmatullah aja.
 
Tapi lagi-lagi di sini masalahnya, ketika kita ngajak, kadang ajakan kita ditolak dengan berbagai alasan. Ada yang emang nolak gara-gara ada halangan beneran, ada yang emang nolak gara-gara nggak mau sama sekali. Waduh, yang kayak gimana tuh yang nggak mau sama sekali?
 
Nih kayak gini nih:
 
“Liat nanti deh...”
“Eh, tanggal 31 ada acara, nggak? Nonton kebakaran, yuk.”
“Liat nanti deh.”

 
Nah, kalau kamu udah pernah ngajakin gebetan kamu kayak gitu dan dijawab seperti itu, berarti itu suatu tanda kalau ajakan kamu udah ditolak, tapi secara halus. Karena kalau dia emang benaran mau, dia pasti langsung jawab iya dengan tegas kayak, “Hayuk!” atau, “Wah, boleh tuh!” Dan kalau pun acara segitu dia nggak bisa (ada halangan), pasti dia bakalan nyoba ngerekomendasiin tanggal lain kayak, “Eh, tanggal 31 aku nggak bisa, gimana kalau tanggal 32?”
 
“Nanti dikabarin lagi ya...”
Di dunia ini banyak orang yang punya sifat nggak enakan. Jadi kalau pun dia tidak tertarik dengan sesuatu (kali ini contohnya ajakan), dia nggak akan langsung nolak secara mentah-mentah. Tapi dia akan nolak secara halus dan terselubung. Kayak gini misalnya,
 
“Eh, Minggu depan ada acara nggak?”
“Nggak dong, aku libur, free banget!”
“Wah! Pas banget! Kita jalan yuk! Ke Sevel, abis itu balik lagi, gimana?”
“A-anu.. Nanti aku kabarin lagi deh ya..”

 
Dan ketika H-1 janjian...
 
“Eh, maaf banget nih, aku besok gak bisa pergi. Aku disuruh nyikatin gigi piranha aku dirumah, soalnya udah 13 bulan engga disikat tuh, banyak ketombenya kasian.

Halus. Benar-benar halus.
 
“Nggak bisa...”
Bentuk penolakan seperti ini adalah contoh penolakan secara langsung tapi nggak bikin sakit hati. Jadi biasanya biar si pengajaknya nggak sakit hati, orang seperti ini bakalan berbohong yang sekiranya si pengajak bakalan memaklumi alasannya, kayak;
 
“Eh, besok bareng yuk ke kampus, aku anterin. Kan sekalian tuh searah. Gimana?”
“Yah, maaf nih, aku nggak bisa. Kayaknya besok kampusnya aja deh yang ke rumah aku. Jadi aku gak usah ke kampus.”

 
Patut digaris-bawahi, kalau emang dianya tertarik, pasti dia bakalan milih kita, bukan temennya. Dan temennya pun kalau janjinya dibatalin pasti ngerti, namanya juga lagi PDKT.
 
Bilangnya sih nggak bisa, padahal mah nggak mau.
 
“Kalau gue nggak mager yak, gue kan orangnya mageran.”
Ini merupakan modus penolakan yang sangat sering terjadi di kaum anak muda. Kalau orang yang kamu ajakin jawabnya kayak gini, maka 95% ajakan kamu pas di hari H kemungkinannya bakalan nggak jadi... dan 5 % lagi kemungkinannya jad.
 
“Ajak yang lain aja biar rame.”
Tipe penolakan kayak gini biasanya paling sering terjadi di kalangan pertemanan yang salah satu pihaknya ngajak ke suatu acara yang dia suka, tapi pihak yang diajak nggak suka... dan juga nggak enak nolaknya.
 
Jadi karena nggak enak yaudah bilangnya, “Ajak yang lain aja biar rame,” dengan gini kan aman, kalau beneran rame, ikut. Kalau nggak rame tinggal bilang, “Ah gue mau kalau ada yang lain.”
 
Intinya sih ya nolak-nolak juga.
 
“Yaah, maaf ya, tanggal segitu kayaknya aku lagi sakit.”
“Eh, eh, kamu tanggal 25 libur kan?”
“Iya, kenapa emang?”
“Jalan yuk, nonton..”
“A-anu.. Umm.. Yaah, maaf ya, tanggal segitu jadwalnya aku sakit cantengan, jadinya nggak bisa deh. Maaf ya, maaf.”

 
Jelas ditolak.

Itulah beberapa tanda ketika ajakan kamu ditolak gebetan, teman, atau pacarnya teman. Kalau kamu sendiri pernah digituin, nggak? Apa sering ngegituin? Yang mana tuh kata-kata yang kamu pake atau pernah kamu denger dari gebetan?